jump to navigation

Tragedi Cendikiawan Oktober 28, 2008

Posted by ummahonline in Buku.
add a comment

Judul buku : Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru
Penulis : Daniel Dhakidae
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Cetakan : Pertama, 2003
Halaman : xxxviii + 790

Buku ini merupakan kajian komprehensif atas pergelutan kaum cendekiawan Indonesia yang berhadapan dengan negara Orde Baru, dengan diletakkan dalam kerangka dialektika kekuasaan, modal, dan kebudayaan.

Daniel Dhakidae, penulis buku ini, di awal buku ini menyatakan bahawa memang cukup sulit untuk mengenalpasti kaum cendekiawan ini, kecuali bahawa mereka diikat oleh mimpi, cita-cita, dan angan-angan tentang suatu jenis kehidupan dan bagaimana menghidupkan sekaligus menghidupkan mimpi-mimpinya itu.

Untuk itulah secara cerdas Dhakidae menggunakan pendekatan analisis wacana politik untuk membedah perjalanan panjang kaum cendekiawan Indonesia. Pendekatan ini menitik-beratkan pada sistem diskursif (juga termasuk budaya wacana kritis) yang berhubungan dengan kaum cendekiawan itu, dengan meneliti bagaimana kemunculan dan perjalanan sebuah situasi dan pergelutan mereka yang memungkinkannya terjadi dengan melihat cara kerja dan kesan yang ditinggalkannya.

Meski mengambil fokus dalam rentang waktu masa Orde Baru, Dhakidae cuba mengulas secara cukup tajam bagaimana kaum cendekiawan Indonesia bergelut dengan kaum kolonial, saling merebut wacana untuk mendapatkan kuasa. Pada bahagian ini Dhakidae menfokuskan pada kebijakan politik yang cukup signifikan mengubah konfigurasi politik pra-kemerdekaan.

Proses pengambil-alihan wacana juga merupakan ciri yang melekat saat Orde Baru dimulai, ketika negara menuntut pembangunan demi hegemonia militaris. Dalam buku ini Dhakidae menyebut Orde Baru sebagai sistem neo-fasisme ketenteraan. Ini tidak lain kerana ketenteraan memegang peranan sebegitu penting, bahkan dimulai sejak proses kelahiran Orde Baru di akhir tahun 1960-an, yang dalam pengoperasiannya bersama Golongan Karya (Golkar). Keduanya begitu identik sekali.

Hegemoni tentara ini juga menyusup dalam sejarah rasmi, ketika disahkan bahawa ABRI lahir pada tanggal 5 Oktober 1945 (padahal ini adalah tanggal kelahiran Tentara Keamanan Rakyat).

Kehadiran negara seperti ini secara perlahan menguasai medan wacana politik sehingga seluruh lapis masyarakat terikat dalam suatu diskusi politik neo-fasis ketenteraan seperti ketenangan, harmoni, jalan tengah, upaya menghindari konflik, dan semacamnya. Menghadapi situasi ini sulit sekali—untuk tidak mengatakan tidak mungkin—menemukan kelompok “cendekiawan bebas”, kerana mereka berhadapan dengan aparat ideologis dan aparat represif negara yang begitu kuat.

Di bab empat Dhakidae memberi ilustrasi yang cukup bagus, ketika mengurai perjalanan organisasi profesional kaum cendekiawan, Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial (HIPIIS), dan Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI).

Seperti juga organisasi yang lain, kedua organisasi ini terkadang kehilangan autonominya untuk bersikap objektif dan kembali kepada landasan moral kerja-kerja intelektual, dan hanya menjadi pengesah kebijakan negara. Keterikatan organisasi profesional ini salah satunya terlihat ketika organisasi ini selalu diketuai oleh orang yang duduk di pemerintahan dan didominasi oleh kalangan birokrat yang bahkan kurang memiliki kelayakan kecendekiawanan.

Kaum cendekiawan ilmu sosial sering mengalami existential schizzophrenia, keperibadian yang terpecah secara eksistensial. Terjadi gabungan antara diri seorang ilmuwan haruslah melengkapkan banyak sisi–yang “ekonom” atau “sosiolog”, “pegawai”, “ilmuwan”, “manusia”, dan “warga negara”.

Ruang diri yang enggan saling menyapa ini mengugat nilai-nilai moral mutlak yang mestinya dimiliki oleh seorang cendekiawan, yang seperti dinyatakan oleh Julien Benda, berkaitan dengan nilai keadilan, kebenaran, dan akal, yang akan membentuk sikap seimbang, lepas dari kepentingan, dan rasional.

Kuasa negara juga terlihat dalam kontrol terhadap bahasa. Contohnya label PKI yang begitu mudah menyudutkan seseorang ke dalam stigma ekstra-negatif. Ketika Marsinah mengorganisasi gerakan buruh di tahun 1993, dia dituduh PKI. Ini sesuatu yang sulit diterima akal: bagaimana seorang yang baru berusia 20 tahun dan lahir jauh sesudah tragedi pembantaian PKI dituduh demikian? Inilah yang disebut dengan disfemisme, ketika label PKI menjelma dalam entiti tersendiri yang lebih nyata dari kenyataan itu sendiri.

Di bahagian lain, buku ini juga mengkaji dinamika akhbar serta kelompok-kelompok agama dan intelektual yang menjadi simbol kaum cendekiawan berhadapan dengan negara.

Buku bagus ini (semoga) menandai dimulainya kembali tradisi penyelidikan serius di kalangan intelektual Indonesia. Yang terpenting, buku ini dapat menjadi bahan pelajaran yang berharga bagi bangsa yang sedang berbenah diri ini. Keterlibatan kaum cendekiawan di era reformasi sudah tidak lagi berada dalam bayang-bayang hegemoni negara.

Tapi sejauh ini ada beberapa kritik terhadap keterlenaan mereka di atas euforia, sehingga kurang memberikan pengaruh signifikan dalam arus perubahan. Atau, mungkin saja kaum cendekiawan Indonesia masih terhimpit oleh kekuatan-kekuatan politik yang saling berebut wacana untuk menuai kuasa.