jump to navigation

Pro-Kontra Qanun Jinayah di Aceh Januari 20, 2010

Posted by ummahonline in Kolum, Nanggroe Aceh.
Tags: , , , ,
add a comment

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) telah mengesahkan qanun Jinayah dan qanun Acara jinayah pada tanggal 14 September 2009 yang lalu. Qanun tersebut disahkan menjelang berakhirnya masa jabatan DPRA di tangan mereka dan sekarang DPRA diganti oleh anggota baru hasil pemilu 2009. setelah disahkan qanun tersebut sampai hari ini belum diteken oleh Gubernur Aceh Irwandi Yusuf dengan alasan; pihak DPRA lama telah memasukkan poin hukuman rajam dalam batang tubuh qanun tersebut yang sebelumnya tidak disepakati oleh eksekutif.

Akibat dari itu jadilah qanun tersebut seperti makhluk tidak bernyawa semenjak lahir karena tidak dihiraukan samasekali oleh pihak eksekutif. Walaupun ketentuan dalam qanun nomor 3 tahun 2007 tentang tata cara pembuatan qanun menetapkan; sebulan setelah suatu qanun disahkan oleh DPRA di Aceh maka selepas berusia satu bulan ia berlaku secara otomatis. Tapi karena yang menjalankan qanun itu adalah eksekutif dan kepala eksekutif belum menekennya, otomatis pula tidak ada yang menjalankannya karena tidak diteken oleh gubernur.

Efek dari itu semua gubernur menganggap qanun itu masih draf dan belum menjadi qanun, bahkan dianggap bertentangan dengan hukum nasional dan hukum internasional,[i] karenanya ia telah diserahkan kepada DPRA baru untuk dibahas ulang. Namun sampai hari ini belum sempat dibahas oleh mereka dan nasib ‘uqubah bagi pelanggar syari’ah di Aceh belum ada kepastiannya. Semakin lama qanun itu mandek semakin lama hukum Islam tidak berjalan dengan baik di Aceh. Akhirnya sekarang semua pihak menunggu batas waktu yang tidak menentu dengan kemungkinan hasil yang tidak menentu pula.

Kenapa harus qanun

Qanun-qanun yang ada dan akan ada di Aceh hari ini merupakan peraturan-peraturan daerah yang dibuat untuk menjawab panggilan Undang-undang Republik Indonesia No. 44 tahun 1999 yang menetapkan Keistimewaan bagi Aceh. Dalam UU tersebut Aceh ditetapkan istimewa dalam empat bidang, yaitu; istimewa dalam bidang penyelenggaraan kehidupan beragama, adat istiadat, pendidikan dan peran ulama dalam penetapan kebijkan daeran.[ii]

Karena sudah lahir undang-undang tersebut maka untuk menjalankannya harus ada ketetapan prosedur yang dalam bahasa lain disebut qanun. Undang-undang itu tidak dapat dijalankan tanpa ada tata cara pelaksanaannya yang disebut qanun. Maka qanun itu merupakan keharusan dan kewajiban bagi melaksanakan undang-undang dimaksud. Dalam hal ini undang-undang tersebut juga menetapkan; untuk menjalankan undang-undang itu harus dibuat qanun-qanun.[iii]

Oleh karenanya cukup banyak qanun yang diperlukan dan harus dibuat di Aceh hari ini untuk menjalankan undang-undang, baik undang-undang nomor 44 maupun undang-undang nomor 11 tentang Pemerintahan Aceh yang berhubungan lansung dengan pelaksanaan syari’at Islam di Aceh.[iv] Makanya qanun jinayah dan qanun acara jinayah diwujudkan dan disahkan oleh DPRA, yang tujuannya adalah untuk menjalankan pelaksanaan syari’at Islam di Aceh dalam bidang Pidana Islam.

Namun demikian, karena DPRA lama sudah tiada dan DPRA baru belum menyatu dengannya, terkatung-katunglah qanun jinayah dan qanun acara jinayah tersebut, tambah lagi dengan keras hati gubernur Irwandi Yusuf yang tidak mau menekennya. Seandainya ia mau menekennya maka tidak ada masalah apa-apa lagi, kalaupun ada protes dari pihak-pihak tertentu dapat dihandel bersama oleh legislatif dan eksekutif. Tetapi karena gubernur belum menyatu dengannya maka menambah lambat lagi pelaksanaa Hukum Allah di bumi Aceh tercinta ini.

Sebetulnya, kalau kita mau bicara jujur maka gubernur harus menandatangani qanun jinayah dan qanun acara jinayah tersebut dalam rangka pelaksanaan syari’at Islam di Aceh yang diamanahkan oleh PERDA nomor 5 tahun 2000 tentang pelaksanaan Syariat Islam di Daerah Istimewa Aceh.[v] Perda tersebut mengamanahkan kepada pemerintah Aceh yang dipimpin oleh gubernur untuk menjalankan Syari’at Islam di Aceh secara kaffah. Lalu bagaimana Hukum Allah itu dapat dijalankan kalau qanunnya tidak mau diteken oleh gubernur. Makanya jadi gubernur Aceh janganlah benci terhadap Syari’at Islam dan jangan pula phoby dengannya. Itu merupakan konsekwensi logis bagi seorang gubernur. Kalau tidak janganlah menjadi gubernur, biar jadi pengusaha saja agar bebas melakukan apa saja, atau menjadi gelandangan saja agar tidak terbebankan oleh ketentuan apa saja.

Beragam pendapat

Akibat tidak ditandatangani qanun jinayah dan qanun acara jinayah tersebut oleh gubernur Aceh Irwandi Yusuf, maka sikap pro dan kontra bermunculan khususnya lewat media massa. Ketua Umum Dewan Dakwah Islamiyyah Indonesia Nanggroe Aceh Darussalam meminta gubernur Irwandi Yusuf untuk mundur kalau tidak mau menekennya, biar ia digantikan orang lain dan diteken oleh orang lain.[vi] Tgk. Ibrahim Bardan Panton Labu berpendapat lain dari yang lain yang disadurkan harian Serambi Indonesia ketika ia bertamu ke kantor Wakil Gubernur.[vii] Katanya: berikan kesejahteraan dahulu kepada orang Aceh baru dijalankan Hukum Islam (rajam), berikan mobil masing-masing orang Aceh satu agar mereka sejahtera dan mau menjalankan hukuman rajam.

Pendapat ini tergolong aneh karena tidak ada seorangpun yang mampu menjamin sekian tahun orang Aeh akan sejahtera. Dan tidak seorangpun yang berani menjamin ketika orang Aceh sudah sejahtera mereka mau menjalankan Hukum Islam. Karenanya pendapat tersebut sepertinya ada masuk pesan-pesan sponsor. Dan itu biasa dilakukan sorang ulama dayah di Aceh dari dulu-dulu lagi. Masyarakatpun sudah tahu kondisi seumpama itu karena sudah lazim terjadi dalam kehidupan mereka.

Sementara pro-kontra lainnya muncul dari berbagai kalangan, Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Aceh berupaya keras agar gubernur meneken qanun tersebut. Sejumlah ulama dayah di kabupaten Aceh utara juga mendesak gubernur segera menekennya agar segera dapat dijalankan. Mantan anggota DPRA lama yang ikut melahirkan qanun tersebut seperti Bahrum M. Rasyid dengan tegas menyatakan bahwa selepas tiga puluh hari qanun itu disahkan, apakah diteken oleh gubernur atau tidak ia akan berlaku secara otomatis.[viii] Pendapat serupa juga dikemukakan oleh sejumlah tokoh Aceh yang kepada qanun tersebut.

Sebaliknya, tidak sedikit para pegiat HAM dan gender yang mengecam qanun itu karena dianggap bertentangan dengan Hak Azasi Manusia (HAM). Umumnya mereka alim dalam ilmu HAM tetapi jahil dalam ilmu syari’ah sehingga menjadi brutal memperjuangkan HAM dan menyisihkan syari’ah walaupun mereka beragama Islam. Satu sisi ini menjadi perkara aneh karena seorang muslim tidak tahu Hukum Islam dan melawan Hukum Islam. Ini seperti orang tidak tahu yang mana ibunya lalu ia mencercanya. Sementara ibunya sangat mengenal dia dan sangat sayang kepadanya, ia dipapah, disayang dan dibesarkan oleh seorang ibu. Namun ibu dibiarkan dan malah dihinakan karena sebuah kejahilan yang melekat pada dirinya.

Pro dan kontra itu semakin kentara terjadi ketika gubernur Irwandi Yusuf mengatakan qanun-qanun di Aceh tidak boleh menentang dengan hukum nasional dan hukum internasional.[ix] Ini merupakan pernyataan amat keliru, karena sebahagian besar hukum Islam bertentangan dengan hukum nasional peninggalan Belanda dan hukum internasional ciptaan manusia. Maka media massa kembali ramai dengan hujjah-hujjah pro dan kontra terhadap kehadiran qanun tersebut.

Seandainya Aceh hari ini dipimpin oleh seorang gubernur yang ta’at kepada Allah yang melaksanakan salat sehari semalam lima waktu tambah dengan salat-salat sunnah maka qanun jinayah dan qanun acara jinayah tersebut besar kemungkinan sudah berjalan sekarang. Namun apa hendak dikata, Aceh ini selalu sial dan belum berdaya, sudah lebih tujuh tahun Syari’at Islam dinyatakan berlaku di Aceh namun qanun-qanun penting belum tuntas dihasilkan. Malah dipertentangkan karena faktor macam-macam.

Ada beberapa penyebab pro-kontra terhadap qanun jinayah dan qanun acara jinayah itu terjadi. Dan itu sangat terkait dengan kepentingan serta kejahilan seseorang, misalnya DPRA lama mengesahkannya karena ingin meninggalkan sesuatu yang baik untuk bangsa Aceh setelah mereka pergi. Sementara gubernur Irwandi tidak mau menekennya karena ia jahil terhadap Hukum Islam dan karena ada desakan luar yang sangat benci kepada Hukum Islam, lalu ia terkulai dalam suasana semacam itu. Pihak-pihak swasta, professional dan kalangan kampus ingin Aceh yang aman sejahtera bersama pemberlakuan Syari’at Islam di sini.

Lalu bagaimana caranya agar semua pihak dapat dipuaskan, sulit dapat memuaskan semua pihak yang masing-masing pihak punya keinginan dan kehendak sendiri-sendiri. Kecuali pihak yang kuat mengalahkan pihak yang lemah, atau pihak yang kaya membeli pihak yang miskin, atau pihak berkuasa memaksa rakyat jelata. Kalau tidak demikian sulit sangat untuk dipuaskan semua pihak itu. Dan itu merupakan suatu tugas berat bagi orang-orang yang berpikir dan beranalisa.

Khatimah

Walaubagaimanapun, qanun jinayah itu tidak mau diteken oleh gubernur Irwandi Yusuf, tetapi kita harus yakin Allah Maha Mengetahui, Maha Melihat, Maha Berkehendak dan Maha Kuasa. Kita tunggu saja keputusan Allah sebagai keputusan yang amat benar dan jauh dari kesalahan. Seperti mana yang telah diberikan kepada kaum nabi-nabi terdahulu seperti kaum nabi Nuh, kaum nabi Luth, kaum nabi Salih, kaum nabi Syu’aib dan sebagainya.

Karena itu pula pihak-pihak yang merasa berkewajiban untuk menjalankannya janganlah terlalu terbebani kehidupan ini disebabkan perkara-perkara seumpama itu. Karena Allah akan dapat menunjukkan kekuasaannya yang selama ini belum terjamah oleh pemikiran mereka yang anti Hukum Allah.

Catatan Kaki:

[i] Serambi Indonesia 24 Oktober 2009.

[ii] Lihat Undang-undang Republik Indonesia No. 44 tahun 1999, pasal 3 ayat 2.

[iii] Lihat Undang-undang Republik Indonesia No. 44 tahun 1999, pasal 11..

[iv] Lihat Undang-undang Republik Indonesia No. 11 tahun 2006 bab XVII

[v] Lihat Peraturan Daerah (Perda) nomor 5 tahun 2000, bab III, pasal 3.

[vi] Serambi Indonesia Jum’at 18 September 2009.

[vii] Serambi Indonesia Jum’at 17 September 2009.

[viii] Tabloid Berita Kontras, No. 509 tahun XI 1-7 Oktober 2009, hal. 5.

[ix] Baca Serambi Indonesia 24 Oktober 2009.