jump to navigation

Gerakan Dakwah dan Pelaksanaan Syari’at Islam di Aceh Ogos 15, 2009

Posted by ummahonline in Kolum, Nanggroe Aceh.
Tags: , , ,
add a comment

AchehMuqaddimah

Dakwah yang bermakna ajakan, seruan, undangan atau panggilan[1] mempunyai peran penting dalam kesuksesan pelaksanaan Syari’at Islam di Nanggroe Aceh Darussalam. Tentunya apabila gerakan dakwah tersebut berjalan dengan lancar dan teratur rapi, karena setiap gerakan yang dijalankan dengan berencana akan mendapatkan hasil yang baik pula.

Keberhasilan perjuangan Ayatullah Ruhullah Khumaini di Iran menjadi salah satu contoh konkrit bahwa kemenangan itu berada di pihak yang bersahaja dan program kerja tersusun rapi.

Perubahan demi perubahan yang terjadi di barat juga diawali dengan rancangan dan penyusunan program kerja yang rapi dan muslihat serta berencana. Revolusi Perancis yang dirancang dan diperjuangkan oleh Reusseau, Voltaire dan Montesquieu yang pada awalnya dianggap sebuah impian oleh sebahagian manusia ternyata dapat mewujudkan sebuah kenyataan. Demikian juga revolusi komunis yang dirancang oleh Karl Max di Jerman dan Lenin di Uni Soviet serta gerakan Nazi yang masih tertinggal sisanya sampai hari ini semuanya diawali dengan perencanaan yang matang dan operasional yang serius dan bersahaja.[2] Berkenaan dengan keberhasilan program kerja, Sayyidina Ali bin Abi Thalib pernah berucab: al baathilu binnizam yaghlibul haqqa bila nizam (kebatilan yang tersusun rapi dapat mengalahkan kebenaran yang berserakan).

Akan halnya pelaksanaan Syari’at Islam di Aceh, kecil kemungkinan dapat berjalan dengan sempurna dan kaffah tanpa memiliki perencanaan serta taktik dan strategi yang jitu. Sebagai contoh konkrit; beberapa perjuangan bangsa Aceh yang hanya didominasi oleh rasa emosional belaka tanpa pengaturan dan perencanaan yang bersahaja dan taktik serta strategi yang jitu akhirnya mengalami kemandekan seperti kasus DI/TII dan GAM. Efeknya adalah masyarakat sudah banyak korban tetapi hasil yang diperoleh sama sekali tidak berimbang. Untuk itu perencanaan, pelaksanaan, pengontrolan dan evaluasi serta kesabaran harus selalu beriringan dan bergandengan menuju kesuksesan.

Untuk menjalankan dan memajukan Syari’at Islam[3] di Aceh, kita tidak dapat memisahkan antara gerakan dakwan dengan Syari’ah[4] itu sendiri. Ibarat sebuah mobil dengan pemandunya, tidak mungkin mobil itu dapat berjalan tanpa dipandu oleh sang sopir (pemandu). Dan tidak mungkin mobil itu akan cepat sampai ke tujuan apabila sopirnya tidak mahir memandu atau tidak serius dalam memandu. Demikian pula dengan implementasi Syari’at Islam di Nanggroe Aceh Darussalam, sulit dapat berjalan lancar dan kaffah tanpa ada pemacunya dari gerakan dakwah yang bersahaja, terencana, punya mekanisme, taktik dan strategi serta kesabaran juru dakwah yang memadai.

Berbicara tentang Syari’at Islam untuk bangsa Aceh bukanlah prihal yang baru, ia sudah lama menyatu dan bersatu dengan jiwa raga bangsa Aceh sendiri semenjak awal berdirinya kerajaan Islam Peureulak yang diazaskan oleh Maulana Abdul Azis Syah,[5] Kerajaan Samudera Pase yang dipimpin oleh Malik al Saleh[6] dan kerajaan Aceh Darussalam yang dimotori oleh Sultan Ali Mughayyatsyah dan berkembang pesat pada zaman Sultan Iskandar Muda. Pada masa-masa tersebut sejarah menyatakan bahwa bangsa Aceh dapat mengatur dirinya sendiri sehingga dapat hidup dengan penuh marwah dan mempunyai digniti (harga diri).

Dengan demikian perlu dikaji kembali faktor-faktor apa sebenarnya yang menyebabkan kibaran Syari’at Islam di Aceh hari ini sangat mandek dan terkesan mati pucuk. Kalau itu disebabkan oleh faktor mandeknya geraan dakwah atau kurang profesional para juru dakwah maka semua pihak harus bahu membahu memperbaiki suasa tersebut. Terutama sekali ia harus diutamakan oleh para penguasa Aceh hari ini baik yang namanya Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, Walikota/wakil Walikota, para kepala dinas, para kepala badan, para kepala biro, kepolisian, kodam, MPU, MAA, MPD dan sebagainya.

Format Gerakan Dakwah Islamiyah Di Aceh

Di Aceh telah pernah berkiprah dan juga sedang berkiprah beberapa lembaga dakwah baik yang bertarap regional, nasional maupun internasional. Semuanya mengarah kepada penyebaran amar ma’ruf dan nahi mungkar dalam bingkai wadah dan organisasinya masing-masing. Di antara lembaga dakwah yang pernah dan sedang berkiprah di Aceh antara lain adalah: Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA), Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, Ikatan Siswa Kader Dakwah (ISKADA), Ikatan Kader Dakwah Islam (IKADI), Muhammadiyah, Nahdhatul Ulama (NU) Perti, Al-Washliyah, jama’ah tablig, Hizbuttahrir dan lainnya.

1. Format Gerakan Dakwah PUSA

Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) yang berdiri pada tahun 1939 atas prakarsa para ulama modern di Aceh seperti Tgk. Abdurrahman Meunasah Meucat, Tgk. Muhammad Dawud Beureu-eh, Tgk. Abdullah Ujong Rimba, Tgk. M. Nur El Ibrahimy, dan lainnya yang dimotori oleh Ayah Hamid Samalanga telah berhasil mengembangkan gerakan dakwah di Aceh paling kurang dalam periode 1939 – 1953.[7] Pada masa tersebut mereka telah berbuat banyak untuk kepentingan dakwah dan kesejahteraan ummah di bumi Aceh sehingga ketika mereka mendapatkan kedudukan dalam pemerintahan, gerakan dakwah tetap saja dihidupkan di sana.

Syari’at Islam terkesan berjalan kencang di Aceh pada masa itu, masjid dan meunasah menjadi makmur dengan para jama’ah. Lembaga pendidikan terkesan menguat di sisi Islam, kehidupan masyarakat terkesan bersahabat semua itu terpengaruhi dengan gerakan dakwah para ulama PUSA yang pada setiap sa’at dan dalam kesempatan apa saja tetap mengumandangkan gerakan dakwahnya kepada ummah. Mereka juga mendirikan banyak pendidikan di seantero bumi Aceh seperti Al Muslim yang didirikan Tgk. Abdurrahman Meunasah Meucap di Matang Geulumpang Dua, Normal Islam Institut di Bireuen, Madrasah Diniyah Sa’adah yang didirikan Tgk. Muhammad Dawud Beureu-eh di Blang Paseh Sigli, Jadam yang didirikan Ayahanda di Montasik Aceh Besar, MADNI yang didirikan Tgk. M. Nur El Ibrahimy di Idi Aceh Timur dan sejumlah pendidikan lainnya di pelosok-pelosok negeri Aceh.

Sejarah membuktikan bahwa format gerakan dakwah PUSA lebih mengarah kepada pembinaan ummah lewat jalur pendidikan, pelatihan, dan dakwah Islamiyah. Ketika mereka mendominasi posisi-posisi penting dalam negara, selanjutnya gerakan dakwahnya menjurus kepada format dakwah politik. Kemudian jama’ah tersebut nyaris bergelimang dengan perebutan kekuasaan antara Aceh di bawah kekuasaan PUSA dengan Jakarta di bawah kekuasaan sekularis-komunis.
Yang tak kalah menariknya dari format gerakan dakwah PUSA adalah terfokusnya ukhuwwah dan pembinaan solidaritas yang menyeluruh sesama anggota dan ummah Islam di Aceh pada masa itu. Ruang gerak ukhuwwah yang dikibarkan PUSA ternyata menjadi perekat kekompakan dalam menjalankan amar ma’ruf dan nahi mungkar sehingga para ulama PUSA disegani dan dikagumi baik oleh rakyat, kawan dan lawan. Nuansa saling menasehati nampak dengan kental dalam kehidupan bermasyarakat khususnya untuk menuju kejayaan hari akhirat.

Walaubagaimanapun, ketika kejayaan Islam nampak dengan nyata di Aceh di bawah naungan pemerintahan PUSA, Jakarta yang sekuler di bawah pimpinan Soekarno berupaya keras mematahkan keberhasilan PUSA dengan memecahbelahkan bangsa Aceh dan dihadu antara komponen PUSA yang berpaham modern dengan kaum tradisionalis. Dihadu antara kaum PUSA dengan keturunan Uleebalang yang pernah menjadi anak emas Belanda suatu masa ketika PUSA memerangi Belanda dan seterusnya.

Secara lebih spesifik Ikatan Siswa Kader Dakwah (ISKADA) juga wujud di Aceh dan telah banyak berbuat untuk menciptakan kader-kader dakwah dari kalangan generasi muda. Ia berpusat di Banda Aceh dan bermarkas di masjid raya Baiturrahman Banda Aceh yang dahulunya dimotori oleh Drs. Abdurrahman Kaoy (mantan Dekan Fakultas Dakwah IAIN Ar-Raniry). Lembaga dakwah ini hanya membentuk dan membina generasi muda untuk trampil berdakwah dan matang dalam bermasyarakat. Umumnya mereka terdiri dari kalangan mahasiswa dan pelajar.

2. Format Gerakan Dakwah Berbasis Nasional

Amat beragam format dari beragam lembaga dakwah yang wujud secara nasional di Indonesia yang berkembang di Aceh. Ada dua kubu yang berseberangan dalam mengembangkan dakwah khusus bidang ibadah mahdhah adalah pertarungan antara kubu Muhammaddiyah dengan kubu Perti dan Nahdhatul Ulama (NU). Pihak pertama menempuh jalur modern dalam gerakan dakwahnya sementara pihak lainnya masih bertahan dengan pola tradisional sehingga sering bertembur di lapangan dakwah dan sesekali berefek fatal terhadap da’i dan mad’unya.

Di satu sisi terdapat kesamaan gerak antara dua kubu tersebut menyangkut dengan gerakan pendidikan dan bisnis. Aka tetapi kesamaan tersebut tetap saja merujuk kepada perbedaan yang terdapat dalam praktik ubudiyah. Umpamanya, santri di dayah yang dibina Muhammadiyah tidak membaca qunut pada shalat subuh tetapi NU dan Perti tetap membacanya. Kalau Muhammadiyah shalat tarawih delapan raka’at maka NU dan Perti tetap saja shalat tarawih 20 raka’at dan seterusnya.
Selain lembaga dakwah itu, ada beberapa lembaga dakwah lain yang lebih netral dan muslihat dalam gerakan dakwahnya sehingga tidak terkesan memihak ke Muhammadiyah atau NU dan Perti. Lebaga-lembaga tersebut adalah Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Ikatan Kader Dakwah Islam (IKADI), Alwashliyah, Hidayatullah dan Al Irsyad. Lembaga-lembaga tersebut lebih menginginkan perubahan ummah kearah positif ketimbang mengikat diri dengan peninggalan para pendahulunya. Dengan demikian mereka dapat mengibarkan sayab dakwahnya keberbagai lapisan dan kalangan masyarakat di seluruh bumi Aceh ini. Ada juga organisasi dakwah yang terkenal frontal adalah Fron Pembelaan Islam (FPI), Majls Mujahidin Indonesia (MMI) dan lain-lain.

Format gerakan dakwah berbasis nasional kadangkala mempunyai kekurangan apabila gerakan dakwah mereka ceburkan dalam politik praktis yang sampai hari ini di Indonesia masih sulit dibersihkan dari unsur syubhat dan gharar. Ketika prihal semacam ini terjadi maka sebahagian masyarakat hilang simpati kepadanya. Ini merupakan persoalan lama yang selalu muncul sepanjang riwayat Indonesia. Sulit untuk dipisahkan antara lembaga dakwah dengan partai politik manakala tokoh-tokoh Islam itu sendiri membaur kedalam lembaga politik.

3. Format Gerakan Dakwah Berbasis Internasional

Paling kuran ada dua lembaga dakwah bertaraf internasional yang bergerak sangat aktif di Aceh hari ini adalah Jama’ah Majlis Tabligh dan Hizbuttahrir. Keduanya mempunyai kesamaan dalam bidang gerakan dakwah amar ma’ruf dan memiliki perbedaan dalam bidang nahi munkar. Majlis tabligh terkenal dengan gerakan dakwah lembutnya yang mengangkat issue-issue sunnah dalam kehidupan nabi dan tidak bicara dakwah politik.[8] Sementara Hizbuttahrir selain mengedepankan sunnah dalam bidang kehidupan sehari-hari juga berupaya menegakan sistem khilafah untuk dunia Islam hari ini.[9]
Format gerakan dakwah Islam semacam itu tidak ada yang menghambat pelaksanaan Syari’at Islam di Aceh. Malah kalau kedua lembaga dakwah tersebut dapat mengintensifkan gerakan dakwahnya di sini secara terpadu sangat mendukung serta memudahkan kelajuan Hukum Islam di kawasan Aceh ini. Kalau selama ini majlis tabligh bergerak di kawasan akar masyarakat di sekitar perkotaan dapat memperluas ke kampung-kampung akan muncul suasana baru dalam nuansa beribadah bagi seluruh masyarakat kita. Demikian juga dengan gerakan dakwah Hizbuttahrir yang terkesan berada di peringkat masyarakat menengah ke atas dapat disosialisasikan kedalam kelompok masyarakat bawah juga akan memberi nuansa baru pula kepada masyarakat kita.

Peran Dakwah Dalam Pelaksanaan Syari’at Islam Di Aceh

Untuk memperkuat implementasi syari’at Islam di Aceh semestinya harus menempuh berbagai cara dan metode. Peran dakwah Islamiyah amatlah penting dan menentukan untuk kesuksesan tersebut. Peran dakwah yang kita maksudkan di sini melingkupi dakwah terhadap legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Ketiga lembaga pemerintahan tersebut mesti didakwahi agar mereka lebih takut kepada dausa sehingga tidak tersalah dalam menangani perkara dan permasalahan negara.[10]
Legislatif sebagai perancang program dalam sesuatu wilayah harus merancang sesuai dengan prosedur dan tidak mengutamakan diri sendiri. Eksekutif pula harus menjalankan program kerjanya yang selaras dengan Hukum Islam. Sementara yudikatif harus mengamankan dan memelihara undang-undang Islam dengan sungguh-sungguh. Ketiganya harus bekerja selaras dalam bingkai syari’at Islam dan untuk kemajuan Islam di Aceh. Semua itu harus ada lembaga yang selalu mengingatkan dan mengajarkan semua karyawan dalam tiga lembaga negara tersebut. Mereka harus ada pengajian rutin di kantor, harus ada salat berjama’ah, harus ada ceramah singkat ba’da salat berjama’ah dan harus ada diskusi-diskusi penting untuk menegakkan Hukum Alah di Aceh.

Antara pelaku dakwah, pengelola lembaga dakwah dan pengelola lembaga negara harus ada kesinambungan perasaan dalam konteks pribadi muslim. Setiap muslim harus menjalankan amar ma’ruf dan nahi mungkar, karena itu da’i menyampaikan dakwah untuk keselamatan mad’u dan kemajuan Islam, pihak legislatif, eksekutif dan yudikatif juga harus mempunyai niat yang sama. Kalau tidak ada kesinambungan antara da’i dengan mad’u dalam hal pengembanagn peran dakwah maka perubahan kearah yang baik sulit terujud.

Jadi peran dakwah itu harus ada keterikatan aqidah dan ibadah antara pihak muballigh dengan pihak yang didakwahi (mad’u). Maknanya semua pihak harus punyai nyali dan niat baik untuk merubah suasana buruk menuju keadaan baik yang dapat mempercepat pelaksanaan Syari’at slam di Aceh. Yang belum begitu faham tentang Syari’at Islam segera belajar dan segera pula mengajar dan mengamalkandalam kehidupan. Siapa saja dia di mana saja dia berada, apa saja kerja dia, semuanya harus fokus untuk menegakkan dan memajukan Syari’at Islam di Nanggroe Aceh keuneubah endatu[11] ini.

Harus Mulai Dari Atas

Untuk memastikan peran dakwah itu berjalan dan bermakna penuh bagi mad’u maka ia harus dimulai dari atas (top-down). Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh harus bicara dan berbuat untuk berlakunya Syari’at Islam di Aceh secara kaffah. Jangan hanya bicara pengembangan ekonomi rakyat tetapi bukan ekonomi yang berbasis Syari’ah. Jangan hanya berbicara penghijauan alam Aceh tetapi salat dan puasa tidak dilaksanakan. Jangan hanya berkata membela rakyat tetapi di sisi lain menyiksa dan menipu rakyat dan sebagainya. Prihal itu harus berlaku kepada semua peringkat bawahannya baik dari jajaran dinas, badan, biro Bupati/wakil Bupati, Walikota/wakil Walikota dan seterusnya.

Kekurangan selama ini untuk pelaksanaan Syari’at Islam di Aceh adalah hampir semua pihak mengabaikan pelaksanaannya apabila berhadapan dengan uang dan jabatan. Satu lagi penyakit besar adalah muslim Aceh seperti tidak memiliki Syari’at Islam sehingga Syari’at Islam itu hanya diucapkan di bibir saja dan tidak berupaya keras untuk menjalankannya. Kalau pimpinan Aceh sudah mulai dari diri sendiri (ibdak binafsik) insya Allah nuansa Syar’i di Aceh akan nampak baik secara perlahan maupun simultan. Insya Allah.

Khatimah

Untuk memastikan Syari’at Islam berjalan mulus dan lancar di Aceh, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh segenap penghuni Nanggroe Aceh, di antaranya:

Penguasa negara yang dimotori Gubernur harus berupaya keras siang dan malam untuk menjalankan Syari’at Islam di Aceh. Mereka harus lebih takut kepada ancaman Allah ketimbang ancaman musuh-musuh Allah.

Penegak hukum baik kepolisian, kehakiman, kejaksaan maupun lembaga-lembaga adat lainnya harus menahan diri dari perbuatan terlarang dan memberikan pelajaran kepada masyarakat agar sinergisitas akan wujud dalam pelaksanaan Hukum Allah di Aceh.

Para pemimpin organisasi/lembaga dakwah harus menahan diri dari prihal kontroversi ajaran agama seingga tidak memecahkan kekompakan ummah di Aceh.

Para ulama, intelektual, cendekiawan harus mengajar anak bangsa untuk berpikir maju dan bersahabat sehingga anak didiknya tidak fanatik buta yang cenderung menyalahkan orang yang belum tentu salah dan membenarkan diri yang belum tentu benar.

Semua pihak dan semua komponen masyarakat Aceh harus menjauhkan diri dari korupsi, manipulasi, intimidasi, diskriminasi dan mengarahkan kehidupan ini kepada pelaksanaan Syari’at Islam kaffah di Aceh yang kita mulai dari diri sendiri masing-masing.

Semua lembaga dakwah harus serius bergerak untuk mendukung kebijakan pemerintah yang membantu Syari’ah dan mengkritik serta membetulkan semua yang berlawanan dengan Syari’ah.

Perpaduan, persatuan dan kesatuan muslim Aceh mutlak diperlukan dalam upaya menjayakan kesuksesan pelaksanaan Syari’at Islam di Aceh. Tidak ada lagi orang Aceh yang benci kepada Syari’at Islam, tidak ada lagi orang Aceh yang memilah-milahkan kehidupan bangsa ini sehingga ummah terpecah belah dan seterusnya.

Catatan Kaki:

[1] Lihat Drs. H. Misbach Malim, Lc. MSc, Dinamika Dakwah dalam perspektif Al-Qur’an dan Al-Sunnah, Jakarta: Media Dakwah, 1426/2005, hal2.
[2] Untuk lebih lengkap kupasan ini silakan lihat Fathi Yakan, Juru Dakwah Sebuah Tantangan, Jakarta: Amarpress, 1987, al 3-4.
[3] Syari’at Islam sering juga disebut dengan kata syari’at saja, dalam bahasa Arab disebut syariy’ah dari akar kata; syara’a – yasyra’u – syar’an wa syir’atan wa syari’atan.
[4] Syari’ah adalah segala hal yang berkenaan dengan prihal kehidupan manusia yang diturunkan Allah SWT kepada nabi Muhammad SAW dalam bentuk wahyu yang ada dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Semula kata ini berarti jalan menuju ke sumber air, yakni jalan ke sumber pokok kehidupan. Kata kerjanya adalah syara’a yang berarti menandai atau menggambar jalan yang jelas menuju sumber air. (lihat Ensiklopedi Islam, Jakarta: Pt. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005, hal., 301)
[5] Lihat Syahbuddin Razi, Dayah Cot Kala, Kertas kerja Seminar Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Aceh dan Nusantara, Aceh Timur, 25-30 September, 1980, hal. 5-6.
[6] Lihat Ali Akbar, Peranan Kerajaan Islam Samudra Pasai sebagai Pusat Pengembangan Islam di Nusantara, Pemerintah Daerah Tingkat II Aceh Utara, 1990, hal.1. dan Mesjid Raya Baiturrahman, Diterbitkan oleh: Dinas Pariwisata Propinsi Daerah Istimewa Aceh, hal.8. dan lihat juga S.S.Djuangga Batubara, Teungku Tjchik Muhammad Dawud di Beureu-éh Mujahid Teragung di Nusantara, Medan, Gerakan Perjuangan & dan Pembebasan Republik Islam Federasi Sumatera, 1987, hal. 56.
[7] Berkenaan dengan sepak terjang PUSA dalam pemerintahan di Aceh silahkan lihat Nazaruddin Syamsuddin, Pemberontakan Kaum Republik, Kasus Darul Islam Aceh, Jakarta: Grafiti, 1990, hal 21 – 31.
[8] Wawancara dengan Kamaruzzaman Bustamam Ahmad, peneliti tentang eksistensi Jama’ah tabligh, Banda Aceh: 23 Januari 2009.
[9] Wawancara dengan Ferdiansyah, Ketua Umum Hizbuttahrir Indonesia (HTI), Banda Aceh: 15 Februari 2009.
[10] Usaha mendakwah mereka sudah hampir hilang di Aceh hari ini, padahal mereka datang dari latarbelakang yang berbeda dan amat rentan dengan kesalahan dalam bekerja.
[11] Endatu adalah sebutan khas Aceh terhadap nenek moyang atau datok nenek.