jump to navigation

Membangun Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) Pasca Tsunami & MoU Helsinki Januari 25, 2007

Posted by ummahonline in Nanggroe Aceh.
trackback

Oleh: Hasanuddin Yusuf AdanAceh telah diselimuti oleh dua kejadian besar antara tsunami yang menghantam sebahagian wilayah pantai ahad 26 Desember 2006 dan perdamaian GAM dengan RI lewat proses Helsinki Meeting yang ditanda tangani Senin 15 Agustus 2005. Keduanya telah membawa kerugian dan keuntungan kepada sebahagian masyarakat di Aceh.

Tsunami merupakan salah satu penyebab wujudnya perdamaian antara GAM dengan RI, dan seterusnya para donor luar berdatangan baik untuk membantu korban tsunami, korban konflik atau mendukung perdamaian di Aceh. Bantuan tersebut telah dapat menyelesaikan persoalan perumahan, livelihood dan kesehatan bagi korban tsunami di satu sisi, ia juga telah dapat membantu korban konflik, mantan GAM dan pihak-pihak terkait lainnya di sisi lain.

Gempa bumi berskala 8,9 SR dan Gelombang Tsunami besar 26 Desember 2004 telah menghancurkan wilayah-wilayah tertentu di Nanggroe Aceh Darussalam, lebih 300.000 jiwa manusia diperkirakan mati dan hilang dan lebih-kurang setengah juta masyarakat kehilangan tempat tinggal. Delapan bulan kemudian wujud pula perdamaian antara GAM dengan RI, 15 Agustus 2005. Dua even besar tersebut telah merobah wajah Aceh dalam limit waktu sangat singkat sehingga kehidupan masyarakat di Serambi Makkah ini terpacu oleh persaingan hidup yang sangat ketat.

Dua kejadian tersebut pula telah menghantarkan Aceh ke peringkat pantauan internasional yang sebelumnya ditutup rapat oleh pemerintah Indonesia di Jakarta. Dua sisi dan dua bidang garap pihak asing menyerbu Aceh adalah; datangnya bantuan kemanusiaan dari Negara-negara donor dan NGO-NGO asing ke Aceh dan masuknya pihak ketiga sebagai penengah dan pelaksana hasil kesepakatan Helsinki 15 Agustus 2005 yang kemudian diberi nama Aceh Monitoring Mission (AMM).

Kedua kejadian tersebut pula telah memaksa semua pihak untuk memperhatikan dan membangun Aceh kembali menjadi sebuah wilayah yang aman-damai, dan makmur-sejahtera. Pembangunan tersebut telah melibatkan banyak pihak sehingga dalam masa setahun pasca tsunami dan perdamaian Helsinki Aceh lumayan aman dan rakyatnya dapat membenah kembali kehidupannya. Namun demikian, ada beberapa hal yang sampai hari ini perlu diperhatikan bersama dalam upaya pembangunan Aceh kembali, di antaranya adalah; bagaimana kita mendukung dan membantu pihak donor serta AMM yang bekerja keras untuk kesejahteraan Aceh. Bagaimana kita memastikan semua anak bangsa yang terlibat dalam rehabilitasi dan rekonstruksi serta reintegrasi Aceh dapat bekerja serius, sopan, jujur, akuntabilitas dan transparan.

Dalam rangka mewujudkan suasana demikian perlu dijalin kerja sama dari dan oleh semua pihak demi tercapainya target dan tujuan yang telah dirumuskan. Kerja sama antar NGO, antar pemerintah serta antar lembaga mana saja sangat diperlukan untuk keperluan tersebut. Dan apapun namanya, bagaimanapun caranya kerja sama tersebut harus memicu kepada kesempurnaan Aceh masa depan. Lebih sempurna dan mantap apabila semua itu terjadi dalam konteks ke-Aceh-an, artinya; adat, budaya dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat Aceh tidak terusik oleh upaya-upaya pembangunan Aceh itu sendiri. Poin itu terasa penting karena dengan cara demikian masyarakat tersebut dapat membenah diri dengan cepat, tepat dan sempurna.

Mengingat kerja-kerja BRA akan berakhir pada tahun 2007 dan BRR akan berakhir tahun 2009 maka Pemerintah Daerah (Pemda) Aceh perlu serius memantau dan bekerja sama dengan kedua lembaga tersebut agar kerja dan bantuannya tepat sasaran. Selanjutnya Pemda Aceh harus memikirkan dengan serius keberadaan Aceh pasca berakhirnya tugas kedua lembaga tersebut nantinya. Diharapkan Pemda akan melanjutkan sisa-sisa kerja dua lembaga itu dan berusaha keras membangun Aceh dalam rangka mewujudkan Aceh yang aman-damai, makmur-sejahtera dan jauh dari malapetaka.

Yang mustahak dilakukan

Pembangunan kembali Aceh pasca gempa, tsunami 26 Desember 2004 dan perdamaian Helsinki 15 Agustus 2005 menjadi sesuatu yang harus dan menjadi tanggung jawab semua pihak karena ia menjadi issue dan tanggung jawab dunia. Menjaga dan mengontrol pembangunan fisik serta melestarikan perdamaian abadi di Aceh merupakan kewajiban lain yang mesti wujud di Aceh hari ini. Ini merupakan bagian dari kesejahteraan dunia bila dipandang dari sisi geografis, sosiologis, dan sisi politis. Untuk keperluan tersebut, kerja sama yang intens dan rapi antara Pemda Aceh, BRR, BRA harus wujud dan berjalan lancar, dan patner-patner sebagai fasilitator yang sudah lama bekerja di Aceh diharapkan dapat mengambil bagian dalam upaya mencapai tujuan tersebut.

Di antara keperluan yang mustahak dilakukan dalam hal ini adalah membangun secepat mungkin semua rumah untuk para korban gempa dan tsunami, memberikan dana pemberdayaan kepada korban konflik sesuai dengan kapasitas dan posisinya masing-masing, membangun semua infra struktur baik yang hancur dan rusak karena gempa dan tsunami maupun karena faktor lain, merevisi Undang-undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh sesuai dengan Memorandum of Understanding (MoU) Helsingki dan menjalankan kandungannya dengan sempurna dan memprioritaskan tegaknya Syari’at Islam yang lengkap dan sempurna di NAD.

Satu hal yang amat penting dilakukan dalam upaya membangun Aceh ke depan adalah; para pemimpin Aceh harus menggalang persatuan yang baik sehingga tidak ada sedikitpun kesan berpilah-pilah dalam memimpin Aceh. Dengan demikian rakyat akan senang dan mahu mengikuti pemimpin mereka untuk menjalankan semua peraturan yang ada. Kepemimpinan baru hasil Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 11 Desember 2006 yang lalu yang menghantarkan Irwandi Yusuf dan Muhammad Nazar ke kursi nomor satu dan dua di Aceh harus dibantu oleh semua pihak dan tidak ada pihak yang mengganggu tugas-tugas yang dilaksanakan mereka berdua. Selama ini kepemimpinan di Aceh selalu diatur dan dikontrol oleh Pemerintah Republik Indonesia (RI) di jakarta sehingga Gubernur, Wakil Gubernur dan kepala-kepala instansi lainnya tidak berhasil di Aceh. Kali ini pemerintahan Aceh harus diatur dan diselamatkan oleh Bangsa Aceh sendiri, sementara RI hanya mengesahkan saja.

Kalau tidak demikian, maka sampai kapanpun Aceh tidak akan maju dan berjaya dalam mengatur wilayahnya. Satu kekeliruan di masa lampau adalah; setiap Gubernur Aceh terpilih selalu berkeinginan untuk memajukan Aceh dari pada wilayah (provinsi) lain di Indonesia yang sama-sama dihatur dan dikontrol oleh RI di jakarta. Hal ini tidak mungkin wujud karena pihak jakarta tidak akan memberikan wewenang penuh kepada Aceh untuk memajukan wilayahnya melebihi kemajuan wilayah-wilayah lain di Indonesia. Mereka mengontrol di Jakarta kepada seluruh provinsi yang ada di Indonesia, apa dan bagaimana yang harus dilakukan kepada sesuatu provinsi.

Karena itu membangun Aceh kali ini tidak boleh dibandingkan dengan wilayah-wilayah tertentu di Indonesia yang penuh korupsi, kolusi dan nepotisme. Ia juga terdiri dari para penguasa yang kehilangan moral yang amat sulit untuk diperbaiki. Aceh ke depan harus seimbang dan setara dengan kemajuan-negara-negara luar seperti tetangganya Malaysia, Brunei Darussalam, Singapore dan Thailand. Hal ini sangat mungkin terjadi mengingat Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih adalah orang-orang yang punya link ke luar negeri dan mereka berasal dari kalangan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang mendapatkan sokongan luar negeri.

Harapan masyarakat kepada pemimpin Aceh kedepan adalah hapuskan praktik korupsi, adili para pelakunya, tegakkan Hak Azasi Manusia (HAM) dan adili pelanggarnya, buka kesempatan kerja kepada semua pihak, utamakan pendidikan berkualitas kepada anak bangsa, taburkan uang di kampung dan desa dengan cara berniaga, membuka bisnis kecil dan sebagainya. Tentunya masyarakat juga sangat berharap pemimpin itu bersedia menjenguk mereka di kampung-kampung dan pedalaman yang jauh dari keramaian dan kemajuan.

Langkah-langkah strategis

Menuju Aceh baru yang aman, berkembang dan maju maka langkah-langkah strategis berikut ini harus segera dilakukan:

1. Membangun koordinasi antara BRA, BRR dan Pemda tingkat Provinsi dan Kabupaten dalam bidang Rekonstruksi, Rehabilitasi dan Reintegrasi. Selama ini kerja sama yang memadai dan tersusun rapi belum wujud antara instansi-instansi tersebut. Posisi BRR yang dikomandoi dan diatur sepenuhnya oleh jakarta selama ini membuat Aceh terkesan dipimpin oleh dua pemerintahan. Di satu sisi Ada Gubernur dan perangkatnya, sementara di sisi lain ada BRR yang menjalankan tugas-tugas penting Pemerintah Aceh dalam wilayah kerja Gubernur NAD. Untuk kemajuan Aceh yang cepat, sebaiknya BRR harus dihatur dan dikontrol oleh Pemerintah Aceh sendiri bukan oleh Presiden atau Menterinya di Jakarta. Karena BRR diatur oleh Jakarta, maka pelaksanaan tugas-tugas BRR cenderung dikuasai oleh perusahaan-perusahaan dari sana. Keadaan seperti ini menyulitkan Aceh dalam membangun wilayahnya karena sebahagian tugas-tugas pemerintah Aceh telah dikerjakan oleh BRR.

2. Merancang dan melaksanakan cara yang lebih baik lewat program bantuan tsunami guna meyakinkan keberlangsungan perdamaian di Aceh. Keterlambatan pelaksanaan projek bantuan untuk korban tsunami dari berbagai pihak membuat satu masalah baru bagi BRR dan korban itu sendiri. Bantuan yang datangnya dari berbagai pihak termasuk luar negara ditujukan kepada korban tsunami secara cepat, tetapi ketika ia dikelola oleh RI lewat BRR ternyata pelaksanaannya sangat lambat. Akibatnya sampai dua tahun lebih tsunami menghantam Aceh masih banyak korbannya yang tinggal di barak, rumah tampungan sementara dan tenda.

3. Membuka jalan agar BRR, BRA dan Pemda (instansi terkait) dapat bekerja sama dalam bidang keuangan untuk pelaksanaan program. Selama ini terkesan BRR memiliki banyak dana operasional sementara BRA tidak demikian, dan bahkan Pemda NAD bekerja dengan anggaran yang telah ditetapkan seadanya. Perlu adanya komunikasi yang baik dan harmonis antara ketiga lembaga tersebut untuk saling membagi kerja, membagi wilayah dan membagi dana dalam satu paket yang barangkali dapat disebut paket BRR, BRA dan Pemda NAD. Kebersamaan ini perlu karena ada wilayah-wilayah kerja BRR juga menjadi wilayah kerja BRA dan sudah barang tentu semua itu menjadi wilayah operasional Pemda NAD. Satu forum atau lembaga alternatif untuk memadukan tiga instansi ini sangat diperlukan untuk kemajuan Aceh masa depan.

4. Mendistribusikan dengan baik dan jauh dari manipulasi, korupsi serta intimidasi semua bantuan, proyek dan pembangunan Aceh yang tengah dan akan berlangsung. Korupsi, kolusi, intimidasi dan nepotisme merupakan penyakit kronis yang telah melukai bumi Aceh dalam masa lumayan lama. Karena itu dalam menyalurkan bantuan BRR dan BRA dipastikan jauh dari penyakit-penyakit tersebut agar pembangunan Aceh berjalan lancar, baik dan bersahaja.

5. Semua NGO dan lembaga mana saja yang tengah bekerja di Aceh diharapkan dapat membantu dengan sempurna para korban bencana alam dan korban konflik. Mana-mana NGO atau lembaga apa saja yang bekerja untuk kemanusiaan dipastikan tidak melenceng ke bidang lain seperti kepercayaan, kebudayaan, adat istiadat dan ajaran-ajaran. Mereka hanya datang untuk membantu manusia-manusia korban baik korban konflik ataupun bencana alam. Jadi tidak ada pendangkalan aqidah, tidak ada penyebaran agama selain yang dimiliki bangsa Aceh hari ini, tidak ada pemurtadan dan tidak ada penggangguan ibadah serta syari’ah di Aceh dalam bentuk apapun.

6. Mengontrol kesepakatan Helsinki dan memastikan damai Aceh yang abadi. Semua pihak (apakah ianya TNI, Polri, GAM/KPA, Pemda atau masyarakat lainnya) diharapkan sama-sama memperkokoh perdamaian yang telah ada agar Aceh dapat membangun bangsa dan wilayahnya dengan cepat dan bersahaja. Apapun namanya kalau ia dapat mengganggu perdamaian harus dihapus di bumi Aceh hari ini dan masa hadapan. Hanya dengan cara seumpama inilah Aceh dapat dibangun, dikembangkan dan dimajukan.

7. Memperlancar dan menyempurnakan pembangunan perumahan serta pengembangan pemberdayaan ekonomi masyarakat berimbas bencana tsunami dan konflik. Semua korban baik korban tsunami maupun korban konflik harus segera diberikan rumah dan diberikan modal usaha. Baik rumah maupun modal yang diberikan tersebut mesti sesuai dan selaras dengan adat budaya, agama dan selera mereka sendiri. Semakin lambat bantuan rumah diberikan kepada mereka semakin sulit pula mereka membenah diri. Semakin lama bantuan modal usaha diberikan kepada mereka semakin sulit juga kehidupan mereka untuk menebus kerugian yang telah ada.

8. Semua pihak diharapkan dapat berperan serta dalam menumpas dan memerangi pengacau dalam bentuk apapun termasuk perampokan, pencurian dan teror yang dapat mengganggu perdamaian dan pembangunan Aceh. Terjadi beberpa kali perampokan, pemerasan, pencurian dan penipuan dalam dua-tiga bulan pasca perdamain antara GAM dengan RI yang sangat merisaukan masyarakat. Diharapkan semua itu dapat diselesaikan bukan hanya oleh pihak keamanan saja tetapi juga peran serta masyarakat sangat diperlukan untuk mewujudkan Aceh yang aman-damai dan tentram-sejahtera.

Bidang garap

Ada beberapa bidang garap yang diperlukan di sini antara lain adalah:

1. Seminar tentang rekonstruksi, rehabilitasi dan reintegrasi. Seminar ini perlu diadakan minimal sekali dalam setahun untuk mengevaluasi kinerja dan menginformasikan publik; apa, bagaimana, dan sejauh mana program tersebut telah berjalan, dan bagaimana seharusnya dilakukan di masa depan. Seminar yang dipusatkan di ibu kota provinsi dan kabupaten/kota diharapkan dapat memberikan penjelasan secara meluas baik melalui media cetak, elektronik maupun lewat lisan para pendakwah. Selama ini masyarakat luas khususnya mereka yang tinggal jauh dengan pusat informasi tidak banyak tau malah ada yang tidak tahu sama sekali apa dan bagaimana kerja BRR dan BRA sehingga tidak sedikit dari mereka yang berkesimpulan bahwa kedua lembaga tersebut tidak banyak memberi manfaat kepada masyarakat. Lewat seminar seperti itu dapat dijelaskan sejauh mana kerja-kerja yang telah dilakukan dan apa yang sedang serta akan dilakukan kehadapan.

2. Pelatihan-pelatihan. Semua pelatihan yang dilaksanakan BRR dan BRA sebaiknya dilibatkan pihak lain seperti World Bank, NGO-NGO lokal, organisasi-organisasi pemuda dan kemasyarakatan dan sebagainya sebagai partner yang dapat memantau, mendistribusikan dan memberi laporan objektif untuk keperluan transparansi dan akuntabilitas. Selama ini banyak kegiatan yang dikerjakan di bawah Deputi-deputi di BRR yang perlu dipantau dan dilaporkan partnership selain Dewan Pengawas BRR dan BRA sendiri. Kerja sama ini dianggap perlu mengingat banyaknya tugas-tugas BRR dan BRA yang terlambat dikerjakan sehingga menimbulkan efek negatif yang berpengarauh terhadap kedua lembaga.

3. Distribusi. Setiap pendistribusian yang dilakukan BRR dan BRA selain dipantau oleh Dewan Pengawas masing-masing perlu dipantau juga oleh pihak-pihak lain seperti World bank, NGO, organisasi, lembaga dan sebagainya sebagai partner dalam bekerja sama. Dan diharapkan pihak patner dapat mengirimkan hasil pantauannya dalam bentuk laporan kepada BRR dan BRA setiap selesai kegiatan dan pendistribusian untuk dijadikan bahan kesempurnaan, pertimbangan, perlengkapan dan perbandingan.

4. Penyusunan program baru. Semua pihak yang bekerja sama dapat menyusun program kerja baru dalam bentuk yang disepakati bersama baik secara kolektif maupun terpisah untuk kelancaran proses Rehabilitasi, Rekonstruksi dan Reintegrasi. Program baru tersebut dirancang dan disusun mengikut perkembangan yang ada untuk kesempurnaan pembangunan dan perdamaian di Aceh.

5. Koneksitas kerja antara BRR dengan BRA. Dalam hal-hal yang memungkinkan perlu diwujudkan kerja sama yang baik antara BRR dengan BRA dengan menghubungkan program kerjanya masing-masing di lapangan. Sebagai contoh: dalam wilayah kerja BRR yang di sana juga terdapat komunitas ex GAM, korban konflik dan anti separatis dapat diajak BRA yang membidangi Reintegrasi dan pihak lain sebagai fasilitator untuk kombinasi program kerja.

6. Tugas. Selain tugas BRR dan BRA yang sudah sangat jelas dalam kerja sama ini, perlu diperjelas pula tugas patner dan Pemda. Pemda sebagai pengelola Aceh secara keseluruhan punya tugas besar untuk melanjutkan semua tugas-tugas peninggalan BRR dan BRR di masa depan manakala kedua lembaga tersebut berakhir masa kerjanya di tahun 2009 dan 2007. Sementara patnernya dalam hal ini hanya berposisi sebagai Fasilitator yang memfasilitasi tugas semua pihak.

Pendekatan yang digunakan dalam rangka koneksi kerja sama antara BRR, BRA, dan Pemda (Provinsi dan Kabupaten/Kota) adalah melalui dua jalur; pertama lewat partisipasi training dan Seminar baik tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota, dan kedua lewat jalur fasilisasi patner sebagai fasilitator. Keduanya diharapkan dapat mempererat hubungan dan menjalankan tugas secara sinergi, sempurna dan berkelanjutan.

Paling tidak ada empat poin penting diharapkan wujud dalam masa-masa pembangunan dan membangun Aceh di masa hadapan. Terjalinnya hubungan komunikasi dan hubungan kerja yang baik antara pihak-pihak terkait melalui program kerjanya. Selesai dan tuntas dengan sempurna semua proyek di lapangan baik yang berhubungan dengan rehabilitasi, rekonstruksi maupun reintegrasi. Wujudnya kesejahteraan dan keamanan yang abadi di Nanggroe Aceh Darussalam. Masyarakat dapat hidup aman, damai, tenteram, sejahtera, bermartabad dan bermaruah

Komen-komen»

No comments yet — be the first.

Tinggalkan komen